Memang Kita Harus
Bersabar
Sabar bukan berarti pasif, namun
dinamis, karena di sisi lain kita pun diperintahkan untuk menegakan kebaikan
dan mencegah kemunkaran. Maka, harus ada ikhtiar untuk mengubah kemunkaran itu.
KRISIS multidimensi yang melanda bangsa ini bisa jadi membuat kita tidak berlaku sabar. Kita menjadi "tidak sabaran", mudah tersinggung, cepat marah, saling hujat, dan saling bermusuhan. Padahal, saat kita dilanda krisis sekarang ini, termasuk krisis kepemimpinan, kita sangat butuh pertolongan Allah SWT. Untuk mengundang pertolongan Allah itu salah satunya dengan bersikap sabar. (QS. Al-Baqarah: 45 dan QS. Al-Baqarah: 155-156).
Ayat itu juga menegaskan, sikap sabar berat dilakukan, kecuali bagi mereka yang sungguh-sungguh dalam mengamalkan perintah-Nya. Seorang ulama, Al-Junaid bin Muhammad, membuat sebuah perumpamaan tentang hakikat sabar, yakni "laksana meneguk sesuatu yang pahit tanpa perlu merengut".
Allah SWT juga menyatakan, kekuatan sabar bisa mengalahkan sesuatu. Sekarang, Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar (QS. Al-Anfaal: 66).
SALAH satu tantangan sekaligus peluang mengamalkan sikap sabar adalah kondisi bangsa yang carut-marut sekarang. Menghadapi pemilu 2004, kita diberi gambaran memprihatinkan dan mengecewakan, bahkan bisa menimbulkan keputusasaan dan pesimisme. Misalnya, bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan signifikan bagi bangsa ini karena pemilu hanya memapankan status quo, akan berkuasanya "politisi bermasalah", tidak berkualitas dan tidak jujurnya para calon anggota parlemen, maraknya politik uang, dan pemilu hanya menjadi ajang politisi partai untuk mencapai jabatan, lalu mementingkan diri sendiri dan kelompok, mengabaikan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Lebih dari 14 abad silam, Rasulullah SAW mensinyalir kondisi demikian dalam sejumlah hadisnya. "Siapa yang melihat tindakan penguasanya yang tidak menyenangkan, hendaklah bersabar_" (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan, "Sesungguhnya kamu akan melihat pada masa setelahku pejabat yang sangat mementingkan diri sendiri, dan karena itu bersabarlah kamu sampai kamu menemuiku" (HR Bukhari).
Dari hadis-hadis tersebut, Rasul memberi arahan umum kepada umatnya, agar bersikap sabar dalam menghadapi atau menyikapi penguasa yang zhalim. Tentu saja, sabar bukan berarti diam atau pasif. Sabar adalah sikap dinamis yang menuntun adanya ikhtiar. Paling tidak, sikap sabar bisa menghalangi munculnya tindakan tidak terpuji.
Sabar adalah salah satu kekuatan jiwa untuk mengendalikan amal perbuatan ke arah tuntutan Allah SWT. Hakikat sabar ialah mengarahkan kekuatan yang mendorong kepada apa yang bermanfaat baginya dan mengarahkan kekuatan penolak dari apa yang merugikannya. Sabar adalah ketahanan jiwa dalam menghadapi musibah, melaksanakan perintah Allah, serta mengendalikan hawa nafsu untuk tidak berlaku maksiat.
Para sahabat dan ulama berusaha memaknai sabar dengan berbagai sudut pandangnya. Ali bin Abu Thalib berkata, "sabar ialah kendaraan yang tidak terperosok". Abu Utsman berkata, "sabar ialah orang yang membiasakan dirinya menerjang hal-hal yang tidak mengenakkan". Amr bin Utsman Al-Makki berkata, "sabar ialah tegar bersama Allah dan menghadapi ujian-Nya dengan lapang dada dan tenang". Al-Khawwash berkata, "sabar ialah tegar terhadap hukum-hukum Allah dan Sunnah". Ruwaim berkata, "sabar ialah meninggalkan keluh-kesah". Ulama lain berkata, "sabar ialah meminta pertolongan Allah".
SEKARANG, bagaimana bersikap sabar terhadap penguasa zhalim atau pejabat korup sebagaimana disinyalir Rasulullah dalam sejumlah hadisnya? Tentu, bukan dengan diam atau nrimo kenyataan tanpa ada upaya mengubah keadaan. Sabar bukan berarti pasif, namun dinamis, karena di sisi lain kita pun diperintahkan melakukan 'amar ma'ruf nahyi muknar. Maka, harus ada ikhtiar untuk mengubah kemunkaran itu.
Krisis multidimensi termasuk krisis kepemimpinan dan keteladanan adalah musibah, ujian, bahkan mungkin adzab bagi umat. Ia harus disikapi dengan sabar. Kesabaran itu antara lain meliputi: Pertama, sabar dalam ketulusan niat perjuangan, yakni semata-mata karena Allah dan demi tegaknya kebenaran Ilahi di muka bumi ini. Kritik konstruktif didasari niat menegakkan kebenaran, bukan ambisi merebut kekuasaan. Kedua, ketekunan dalam mengidentifikasi sumber masalah. Bisa jadi, krisis ini merupakan adzab Allah karena kita tidak mempedomani syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya dalam membentuk sistem pemilihan pemimpin, atau ketika kita melakukan pilihan. Bisa jadi kita sering melakukan pilihan emosional, tidak rasional, sehingga mengabaikan kriteria pemimpin sesuai syara'. Kita harus merujuk segala urusan kepada Allah karena semua hal di dunia ini menjadi hak-Nya. Itulah antara lain makna "inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" sebagaimana ditunjukkan orang-orang yang sabar (QS. 2:156).
Ketiga, sabar dalam merumuskan dan melaksanakan perjuangan mengubah kemunkaran. Kesabaran di sini akan memunculkan sikap penuh perhitungan, tidak mudah memvonis atau menghujat yang hanya akan menimbulkan masalah baru, meninjau ulang atau mengoreksi strategi perjuangan, dan membangun jaringan. Juga bersabar, dalam pengertian ketahanan jiwa, atas segala fitnah perjuangan, seperti ancaman kekerasan, suap dan sebagainya.
Keempat, sabar dalam mengekang ambisi pribadi dan fanatisme golongan. Ambisi pribadi bisa merusak kepentingan bersama dan memunculkan permusuhan. Demikian pula fanatisme golongan yang bisa menimbulkan konflik antar kelompok, bahkan merasa paling benar dan menyalahkan orang lain.
Kelima, sabar dalam melakukan seleksi kepemimpinan. Isu politisi busuk atau caleg hitam hendaknya tidak membuat kita pesimis, namun lebih serius dan giat dalam melakukan kaderisasi pemimpin sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Dalam jangka pendek, tentu saja, jangan pilih politisi busuk dan parpol busuk pada pemilu nanti!
KRISIS multidimensi yang melanda bangsa ini bisa jadi membuat kita tidak berlaku sabar. Kita menjadi "tidak sabaran", mudah tersinggung, cepat marah, saling hujat, dan saling bermusuhan. Padahal, saat kita dilanda krisis sekarang ini, termasuk krisis kepemimpinan, kita sangat butuh pertolongan Allah SWT. Untuk mengundang pertolongan Allah itu salah satunya dengan bersikap sabar. (QS. Al-Baqarah: 45 dan QS. Al-Baqarah: 155-156).
Ayat itu juga menegaskan, sikap sabar berat dilakukan, kecuali bagi mereka yang sungguh-sungguh dalam mengamalkan perintah-Nya. Seorang ulama, Al-Junaid bin Muhammad, membuat sebuah perumpamaan tentang hakikat sabar, yakni "laksana meneguk sesuatu yang pahit tanpa perlu merengut".
Allah SWT juga menyatakan, kekuatan sabar bisa mengalahkan sesuatu. Sekarang, Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar (QS. Al-Anfaal: 66).
SALAH satu tantangan sekaligus peluang mengamalkan sikap sabar adalah kondisi bangsa yang carut-marut sekarang. Menghadapi pemilu 2004, kita diberi gambaran memprihatinkan dan mengecewakan, bahkan bisa menimbulkan keputusasaan dan pesimisme. Misalnya, bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan signifikan bagi bangsa ini karena pemilu hanya memapankan status quo, akan berkuasanya "politisi bermasalah", tidak berkualitas dan tidak jujurnya para calon anggota parlemen, maraknya politik uang, dan pemilu hanya menjadi ajang politisi partai untuk mencapai jabatan, lalu mementingkan diri sendiri dan kelompok, mengabaikan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Lebih dari 14 abad silam, Rasulullah SAW mensinyalir kondisi demikian dalam sejumlah hadisnya. "Siapa yang melihat tindakan penguasanya yang tidak menyenangkan, hendaklah bersabar_" (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan, "Sesungguhnya kamu akan melihat pada masa setelahku pejabat yang sangat mementingkan diri sendiri, dan karena itu bersabarlah kamu sampai kamu menemuiku" (HR Bukhari).
Dari hadis-hadis tersebut, Rasul memberi arahan umum kepada umatnya, agar bersikap sabar dalam menghadapi atau menyikapi penguasa yang zhalim. Tentu saja, sabar bukan berarti diam atau pasif. Sabar adalah sikap dinamis yang menuntun adanya ikhtiar. Paling tidak, sikap sabar bisa menghalangi munculnya tindakan tidak terpuji.
Sabar adalah salah satu kekuatan jiwa untuk mengendalikan amal perbuatan ke arah tuntutan Allah SWT. Hakikat sabar ialah mengarahkan kekuatan yang mendorong kepada apa yang bermanfaat baginya dan mengarahkan kekuatan penolak dari apa yang merugikannya. Sabar adalah ketahanan jiwa dalam menghadapi musibah, melaksanakan perintah Allah, serta mengendalikan hawa nafsu untuk tidak berlaku maksiat.
Para sahabat dan ulama berusaha memaknai sabar dengan berbagai sudut pandangnya. Ali bin Abu Thalib berkata, "sabar ialah kendaraan yang tidak terperosok". Abu Utsman berkata, "sabar ialah orang yang membiasakan dirinya menerjang hal-hal yang tidak mengenakkan". Amr bin Utsman Al-Makki berkata, "sabar ialah tegar bersama Allah dan menghadapi ujian-Nya dengan lapang dada dan tenang". Al-Khawwash berkata, "sabar ialah tegar terhadap hukum-hukum Allah dan Sunnah". Ruwaim berkata, "sabar ialah meninggalkan keluh-kesah". Ulama lain berkata, "sabar ialah meminta pertolongan Allah".
SEKARANG, bagaimana bersikap sabar terhadap penguasa zhalim atau pejabat korup sebagaimana disinyalir Rasulullah dalam sejumlah hadisnya? Tentu, bukan dengan diam atau nrimo kenyataan tanpa ada upaya mengubah keadaan. Sabar bukan berarti pasif, namun dinamis, karena di sisi lain kita pun diperintahkan melakukan 'amar ma'ruf nahyi muknar. Maka, harus ada ikhtiar untuk mengubah kemunkaran itu.
Krisis multidimensi termasuk krisis kepemimpinan dan keteladanan adalah musibah, ujian, bahkan mungkin adzab bagi umat. Ia harus disikapi dengan sabar. Kesabaran itu antara lain meliputi: Pertama, sabar dalam ketulusan niat perjuangan, yakni semata-mata karena Allah dan demi tegaknya kebenaran Ilahi di muka bumi ini. Kritik konstruktif didasari niat menegakkan kebenaran, bukan ambisi merebut kekuasaan. Kedua, ketekunan dalam mengidentifikasi sumber masalah. Bisa jadi, krisis ini merupakan adzab Allah karena kita tidak mempedomani syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya dalam membentuk sistem pemilihan pemimpin, atau ketika kita melakukan pilihan. Bisa jadi kita sering melakukan pilihan emosional, tidak rasional, sehingga mengabaikan kriteria pemimpin sesuai syara'. Kita harus merujuk segala urusan kepada Allah karena semua hal di dunia ini menjadi hak-Nya. Itulah antara lain makna "inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" sebagaimana ditunjukkan orang-orang yang sabar (QS. 2:156).
Ketiga, sabar dalam merumuskan dan melaksanakan perjuangan mengubah kemunkaran. Kesabaran di sini akan memunculkan sikap penuh perhitungan, tidak mudah memvonis atau menghujat yang hanya akan menimbulkan masalah baru, meninjau ulang atau mengoreksi strategi perjuangan, dan membangun jaringan. Juga bersabar, dalam pengertian ketahanan jiwa, atas segala fitnah perjuangan, seperti ancaman kekerasan, suap dan sebagainya.
Keempat, sabar dalam mengekang ambisi pribadi dan fanatisme golongan. Ambisi pribadi bisa merusak kepentingan bersama dan memunculkan permusuhan. Demikian pula fanatisme golongan yang bisa menimbulkan konflik antar kelompok, bahkan merasa paling benar dan menyalahkan orang lain.
Kelima, sabar dalam melakukan seleksi kepemimpinan. Isu politisi busuk atau caleg hitam hendaknya tidak membuat kita pesimis, namun lebih serius dan giat dalam melakukan kaderisasi pemimpin sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Dalam jangka pendek, tentu saja, jangan pilih politisi busuk dan parpol busuk pada pemilu nanti!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar