Jumat, 27 Januari 2012

Membumikan Al-Quran


Membumikan Al-Quran
oleh Dr. M. Quraish Shihab

Ayat-ayat Kawniyyah dalam Al-Quran
Al-Quran Al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat itu,121 menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat kawniyyah. Tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal-hal di atas.122 Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat.
Tetapi, kendatipun terdapat sekian banyak ayat tersebut, btkan berarti bahwa Al-Quran sama dengan Kitab Ilmu Pengetahuan, atau bertujuan untuk menguraikan hakikat-hakikat ilmiah. Ketika Al-Quran memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likulli syay'i (QS 16:89), bukan maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Al-Quran terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.123
Al-Ghazali dinilai sangat berlebihan ketika berpendapat bahwa "segala macam ilmu pengetahuan baik yang telah, sedang dan ajan ada, kesemuanya terdapat dalam Al-Quran". Dasar pendapatnya ini antara lain adalah ayat yang berbunyi, Pengetahuan Tuhan kami mencakup segala sesuatu (QS 7:89). Dan bila aku sakit Dialah Yang Menyembuhkan aku (QS 26:80). Tuhan tidak mungkin dapat mengobati kalau Dia tidak tahu penyakit dan obatnya. Dari ayat ini disimpulkan bahwa pasti Al-Quran, yang merupakan Kalam/Firman Allah, juga mengandung misalnya disiplin ilmu kedokteran. Demikian pendapat Al-Ghazali dalam Jawahir Al-Qur'an.124 Di sini, dia mempdrsamakan antara ilmu dan kalam, dua hal yang pada hakikatnya tidak selalu seiring. Bukankah tidak semua apa yang diketahui dan diucapkan?! Bukankah ucapan tidak selalu menggambarkan (seluruh) pengetahuan?
Al-Syathibi, yang bertolak belakang dengan Al-Ghazali, juga melampaui batas kewajaran ketika berpendapat bahwa "Para sahabat tentu lebih mengetahui tentang kandungan Al-Quran" --tetapi dalam kenyataan tidak seorang pun di antara mereka yang berpendapat seperti di atas. "Kita," kata Al-Syathibi lebih jauh, "tidak boleh memahami Al-Quran kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat dengan pengetahuan mereka."125 Ulama ini seakan-akan lupa bahwa perintah Al-Quran untuk memikirkan ayat-ayatnya tidak hanya tertuju kepada para sahabat, tetapi juga kepada generasi-generasi sesudahnya yang tentunya harus berpikir sesuai dengan perkembangan pemikiran pada masanya masing-masing.
Al-Quran dan Alam Raya
Seperti dikemukakan di atas bahwa Al-Quran berbicara tentang alam dan fenolenanya. Paling sedikit ada tiga hal yang dapat dikemukakan menyangkut hal tersebut:
 (1) Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk --mengantarkannya kepada kesadaran akan Keesaan dan Kemahakuasaan Allah SWT.
Dari perintah ini tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut. Namun, pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate goal).
(2) Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang mengaturnya, diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan Allah SWT serta diatur dengan sangat teliti.

    Alam raya tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut --kecuali jika dikehendaki oleh Tuhan. Dari sini tersirat bahwa:

        (a) Alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah, dipertuhankan atau dikultuskan.

        (b) Manusia dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang adanya ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan mengikat bagi alam raya dan fenomenanya (hukum-hukum alam).

    (3) Redaksi ayat-ayat kawniyyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing penafsir.
Dalam kaitan dengan butir ketiga di atas, perlu digarisbawahi beberapa prinsip dasar yang dapat, atau bahkan seharusnya, diperhatikan dalam usaha memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang mengambil corak ilmiah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah
(1) Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami Kitab Suci yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat syarat-syarat tertentu.
(2) Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus ditujukan untuk orang-orang Arab ummiyyin yang hidup pada masa Rasul saw. dan tidak pula hanya untuk masyarakat abad ke-20, tetapi untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran serta dituntut menggunakan akalnya dalam rangka memahami petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau disadari bahwa akal manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda akibat latar belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman, kondisi sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka adalah wajar apabila pemahaman atau penafsiran seseorang dengan yang lainnya, baik dalam satu generasi atau tidak, berbeda-beda pula.
(3) Berpikir secara kontemporer sesuai dengan perkembangan zaman dan iptek dalam kaitannya dengan pemahaman Al-Quran tidak berarti menafsirkan Al-Quran secara spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli yang memiliki otoritas dalam bidang ini.`r    
(4) Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran adalah keterbatasan pengetahuan seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat Al-Quran. Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus kedalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kawniyyah tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan pokok-pokok bahasan ayat yang lain.
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas, ulama-ulama tafsir memperingatkan perlunya para lufasir --khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan penafsiran ilmiah-- untuk menyadari sepenuhnya sifat penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus bahasa dan konteks ayat-ayat Al-Quran.
Pendapat Para Ulama tentang Penafsiran Ilmiah
Disepakati oleh semua pihak bahwa penemuan-penemuan ilmiah, di samping ada yang telah menjadi hakikat-hakikat ilmiah yang dapat dinilai telah memiliki kemapanan, ada pula yang masih sangat relatif atau diperselisihkan sehingga tidak d`pat dijamin kebenarannya.
Atas dasar larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif, maka sementara ulama Al-Quran tidak membenarkan penafsiran ayat-ayat berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah yang sifatnya belum mapan.126 Seorang ulama berpendapat bahwa "Kita tidak ingin terulang apa yang terjadi atas Perjanjian Lama ketika gereja menafsirkannya dengan penafsiran yang kemudian ternyata bertentangan dengan penemuan para ilmuwan."127 Ada Pula yang berpendapat bahwa "Kita berkewajiban menjelaskan Al-Quran secara ilmiah dan biarlah generasi berikut membuka tabir kesalahan kita dan mengumumkannya."128
Abbas Mahmud Al-Aqqad memberikan jalan tengah. Seseorang hendaknya jangan mengatasnamakan Al-Quran dalam pendapat-pendapatnya, apalagi dalam perincian penemuan-penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-Quran. Dalam hal ini, AlAqqad memberikan contoh menyangkut ayat 30 Surah Al-Anbiya' yang oleh sementara ilmuwan Muslim dipahami sebagai berbicara tentang kejadian alam raya, yang pada satu ketika merupakan satu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan.
Setiap orang bebas memahami kapan dan bagaimana terjadinya pemisahan itu, tetapi ia tidak dibenarkan mengatasnamakan Al-Quran menyangkut pendapatnya, karena Al-Quran tidak menguraikannya.129
Setiap Muslim berkewajiban mempercayai segala sesuatu yang dikandung oleh Al-Quran, sehingga bila seseorang mengatasnamakan Al-Quran untuk membenarkan satu penemuan atau hakikat ilmiah yang tidak dicakup oleh kandungan redaksi ayat-ayat Al-Quran, maka hal ini dapat berarti bahwa ia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai apa yang dibenarkannya itu, sedangkan hal tersebut belum tentu demikian.
Pendapat yang disimpulkan dari uraian Al-Aqqad di atas, bukan berarti bahwa ulama dan cendekiawan Mesir terkemuka ini menghalangi pemahaman suatu ayat berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak! Sebab, menurut Al-Aqqad lebih lanjut, "Dahulu ada ulama yang memahami arti 'tujuh langit' sebagai tujuh planet yang mengitari tata surya --sesuai dengan perkembangan pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini merupakan ijtihad yang baik sebagai pemahamannya (selama) ia tidak mewajibkan atas dirinya untuk mempercayainya sebagai akidah dan atau mewajibkan yang demikian itu terhadap orang lain."130
Bint Al-Syathi' dalam bukunya, Al-Qur'an wa Al-Qadhaya Al-Washirah, secara tegas membedakan antara pemahaman dan penafsiran.131 Sedangkan Al-Thabathaba'i, mufasir besar Syi'ah kontemporer, lebih senang menamai penjelasan makna ayat-ayat Al-Quran secara ilmiah dengan nama tathbiq (penerapan).132 Pendapat-pendapat di atas agaknya semata-mata bertujuan untuk menghindari jangan sampai Al-Quran dipersalahkan bila di kemudian hari terbukti teori atau penemuan ilmiah tersebut keliru.
Segi Bahasa Al-Quran dan Korelasi Antar Ayatnya
Seperti yang telah dikemukakan di atas, para mufasir mengingatkan agar dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran --khususnya yang berkaitan dengan penafsiran ilmiah-- seseorang ditunttt untuk memperhatikan segi-segi bahasa Al-Quran serta korelasi antar ayat.
Sebelum menetapkan bahwa ayat 88 Surah Al-Naml (yang berbunyi, Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan), ini menginformasikan pergerakan gunung-gunung, atau peredaran bumi, terlebih dahulu harus dipahami kaitan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Apakah ia berbicara tentang keadaan gunung dalam kehidupan duniawi kita dewasa ini atau keadaannya kelak di hari kemudian. Karena, seperti diketahui, penyusunan ayat-ayat Al-Quran tidak didasarkan pada kronologis masa turunnya, tetapi pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian.

Demikian pula halnya dengan segi kebahasaan. Ada sementara orang yang berusaha memberikan legitimasi dari ayat-ayat Al-Quran terhadap penemuan-penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan.
Ayat 22 Surah Al-Hijr, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama dengan, "Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit ..."133 Terjemahan ini, di samping mengabaikan arti huruf fa; juga menambahkan kata tumbuh-tumbuhan sebagai penjelasan sehingga terjemahan tersebut menginformasikan bahwa angin berfungsi mengawinkan tumbuh-tumbuhan.

Hemat penulis, terjemahan dan pandangan di atas tidak didukung oleh fa anzalna min al-sama' ma'a yang seharusnya diterjemahkan dengan maka kami turunkan huj`n. Huruf fa' yang berarti "maka" menunjukkan adanya kaitan sebab dan akibat antara fungsi angin dan turunnya hujan, atau perurutan logis antara keduanya sehingga tidak tepat huruf tersebut diterjemahkan dengan dan sebagaimana tidak tepat penyisipan kata tumbuh-tumbuhan dalam terjemahan tersebut. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa menterjemahkan lawaqiha dengan meniupkan juga kurang tepat.

Kamus-kamus bahasa mengisyaratkan bahwa kata tersebut digunakan antara lain untuk menggambarkan inseminasi. Sehingga, atas dasar ini, Hanafi Ahmad menjadikan ayat tersebut sebagai informasi tentang fungsi angin dalam menghasilkan atau mengantarkan turunnya hujan, semakna dengan Firman Allah dalam surah Al-Nur ayat 43: Tidakkah kamu lihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya, kemudian dijadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya ...134

Memang, seperti yang dikemukakan di atas, sebab-sebab kekeliruan dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran antara lain adalah kelemahan dalam bidang bahasa Al-Quran, serta kedangkalan pengetahuan menyangkut objek bahasan ayat. Karena itu, walaupun sudah terlambat, kita masih tetap menganjurkan kerja sama antardisiplin ilmu demi mencapai pemahaman atau penafsiran yang tepat dari ayat-ayat Al-Quran dan demi membuktikan bahwa Kitab Suci tersebut benar-benar bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Mahaesa itu.
Catatan kaki
121 Jumlah ini adalah yang populer di samping jumlah 6.666 ayat. Tetapi, masih ada pendapat-pendapat lain. Lebih jauh dapat dilihat dalam Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Kairo 1957, jilid I, h. 249.
122 Lihat, antara lain, Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur'an, Kairo, 1350 H, jilid I, h. 3.
123 Lihat Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, Dar Al-Qalam, Mesir, Cetakan II, t.t., h. 13, dan seterusnya.
124 Al-Ghazali, Jawahir Al-Qur'an, Percetakan Kurdistan, Mesir, Cetakan I, t.t., h. 31.
125 Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Mesir, t.t., jilid 1, h. 46.
126 Muhammad Ridha Al-Hakimi, Al-Qur'an Yasbiqu Al-'Ilm Al-Hadits, Dar Al-Qabas, Kuwait, 1977, h. 71.
127 Abdul Muta'al Muhammad Al-Jabri, Syathahat Mushthafa Mahmud, Dar Al-I'thisham, Kairo, 1976, h. 12.
128 Muhammad Ridha Al-Hakimi, loc cit.
129 Abbas Mahmud Al-Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Dar Al-Hilal, Kairo, t.t., h. 182.
130 Ibid.
131 Bint Al-Syathi', Al-Quran wa Al-Qadhaya Al-Mu'ashirah, Dar Al-Ilmu li Al-Malayin, Beirut, 1982, h. 313.132 Muhammad Husain Al-Thabathaba'i, Tafsir Al-Mizan, Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, Teheran, 1397 H., cet. III, jilid I, h. 6.
133 Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran Depag, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Percetakan PT. Seraya Santra, 1989.
134 Hanafi Ahmad, Al-Tafsir Al-'Ilmiy lil Ayat Al-Kawniyyah, Dar Al-Ma'arif Mesir, 1960, h. 363, dan seterusnya.

Metode tafsir

hermeniutik
                Berbicara tentang penafsiran dan metodenya memang seolah-olah tak  bisa lepas untuk memasukkan hermeneutik sebagai salah satu metode yang digunakan untuk menafsiri sebuah ayat. Begitu pula ketika membahas hermeneutik seolah tidak ada habis- habisnya melahirkan pro dan kontra seperti dua rel kereta yang sejajar tapi tidak akan pernah bisa ditemukan ujungnya. Namun, terlepas setuju atau tidak dengan  hermeneutik hendaknya semua pihak dapat bersikap arif dan  berjiwa besar untuk menerima semua pendapat yang ada. Masin-masing pihak tidak perlu mengkafirkan pikiran dan pendapat seseorang khususnya bagi mereka yang tidak setuju dengan hermeneutik sebagai metode pemikiran.
                Hermeneutik ada sejak agama lahir, bahkan sejak manusia muncul sebagai makhluk kebudayaan. Namun hermeneutika sebagai metode dalam islam muncul ketika wilayah politik islam meluas dan dibutuhkan penafsiran terutama hukum terhadap teks-teks agama. Disinilah mereka mulai berpikir modis.
                Masa modern kini bisa dianggap sebagai fase kedua hermeneutika al-qur’an. Dimana timbul hermeneutika pada zaman ini dipicu oleh sebuah kesadaran. Menurut Andreew Rippin  kesadaran tersebut berkaitan dengan kepentingan menciptakan model-model penafsiran yang memadahi terhadap al-quran dengan bantuan kesadaran dan bergam metodologi ilmiah yang tersedia. Dengan metode tersebut, penafsiran al-qur’an diharapkan mampu merasionalisasi doktrin- doktrinn yang ada dalam al-qur’an. Dan latar belakang inilah salah satu faktor lahir nya hermeneutik modern.
                Menurut Gerhard Ebelling, hermes merupakan kiasan unntuk tiga tugas utama hermeneutik modern. Tugas pertama hermeneutik  adalah merupakan sesuatu yang tadinya hanya ada dalam pikiran belaka. Kedta, menjelaskan secara rasional sesuatu yang sebelumnya masih samar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti. Ketiga, menterjemahkan bahasa yang asing kedalam bahasa yang lebih dikuasai.
                Hermeneutik dan penafsiran mempunyai wilayah yang hampir sama tetapi keduanya tidak identik. Penafsiran teks adalah kegiatan berpikir, praktik penafsiran atau usaha  memahami untuk berpikir orang bisa tidak bermetode.tapi berpikir yang baik adalah  berpikir dengan metode. Jika memang diharuskan menggunakan metode dalam menafsirkan atau memahami sebuah teks, maka disitulah hermeneutika berperan. Jadi dengan indikasi di atas maka hermeneutik dapat dikategorikan sebagai metode atau teori penafsiran. Karena disana hermeneutik dalam memaknai sebuah teks tidak berarti tanpa memperhatikan latar belakang yang ada dan segala hal yang berkaitan dengan teks. Dengan segala keterbatasannya, terbukti hermeneutik telah berjasa dalam sejarah pemaknaan teks khususnya bibel. Hermeneutik dengan aliran dan coraknya mampu menjadikan sebuah teks masa silam menjadi relevan dengan kehidupan kotemporer umat manusia. Dengan demikian hermeneutika juga diharapkan mampu menjawab sebuah keresahan bahwa al-qur’an harus dapat berjalan dan mampu menyelesaikan persoalan zman ini. Hermeneutika dapat memberikan pengayaan wawasan dalam upaya memahami makna dan kandungan al-qur’an. Namun demikian, sulit dibayangkan jika hermentika menjadh metode tunggal dlam menasirkan al-qur’an. Meskipun secara teoritis hermeneutik bisa dijadikan pijakan untuk mengangkat karakteristik al-qur’an tapi mengingat masih ada anggapan buruk yang sangat ideologis karena lahan kajian alkitab dengan al-qur’an mempunyai “egoisitas” idiologis dari para pengikutnya.
                Brberapa sarjana muslim telah melahirkan karya akademik yang memberi dukungan terhadap pendekatan hermeneutika. Termasuk diantaranya  dalam bentuk tesis d`n disertasi. Seperti The Hermneutical Problem of The Qur’an In Islamic history karya Muhammad  Ata As sid. Memang beberpa pendapat mengatakan hermenutik sejalan dengan prinsip hadits Nabi:
الحكمة دالة المؤمن فحيث وجد ها فهو أحق بها
“Hikmah itu milik orang-orang yang beriman dimanapun ia temui maka mereka lebih berhaq dengan hikmah tersebut”
                Maka apaun namanya dan darimanapun datangnya sepanjang itu dapat dimanfaaatkan untuk mengungkap rahasia yang terkandung dalam al-qur’an dan sepanjang metode itu memang betul-betul menawarkan sesuatu yang lebih posifif demi perkembangan dan pembinaan umat maka masih tetap dapt dipertimbangkan.
                                                                                                                BY:  Syaf-Ri-Da 

abortus


aborsi
Perkataan Abortus , dalam bahasa inggris disebut Abortion. berasal dari bahasa latin yang berarti gugur kandungan atau keguguran.  dalam ensiklopedi Indonesia, dijelaskan bahwa abortus diartikan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minngu atau sebelum janin mencapai berat 1000 gr.[1] Sardikin Ginaputra dari fakultas kedokteran Unifersitas Indonesia memberikan pengertian Abortus sebagai pengakhiran masa kehamilan atau hasil konsepsi (pembuahan),  sebelum janin dapat hidup diluar kandungan.[2]            Berpijak dari dua pengertian diatas dapatlah dikatakan, Aborsi ialah mengahiri kehamilan sebelum janin menjadi makhluk hidup atau sebelum janin hidup, dan sempurna perkembangannya dan kemungkinan besar ia dapat hidup diluar rahim.[3] Atau ada yang mengatakan abortus adalah suatu perbuatan untuk mengakhiri masa kehamilan dengan mengeluarkan janin dari kandungan sebelum tiba masa kelahiran secara alami         Statemen ini menunjukkan bahwa untuk terjadinya abortus setidak-tidaknya ada tiga unsur yang harus dipenui.1. Adanya embrio (janin), yang merupakan hasil pembuahan antara sperma dan ovum dalam rahim. 2. Pengguguran itu terjadi dengan sendirinya , tetapi lebih sering disebabakan oleh perbuatan manusia. 3. Keguguran itu terjadi sebelum waktunya artinya sebelum masa kelahiran tiba .
1. Macam- Macam Aborsi
A.    Secara umumSecara umum, pengguguran kandungan (Aborsi) dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengguguran spontan (spontaneous abortus)  pengguguran buatan atau disengaja (abortus provocatus)1.      Spontaneus  Abortus (tidak sengaja)Abortus spontan adalah pengguguran tidak sengaja dan terjadi tampa tindakan apa pun. Pengguguran dalam bentuk ini lebih sering terjadi karena factor di luar kemampuan manusia seperti pendarahan (blooding) dan kecelakaan. Dikalangan para ulama bentuk ini disebut dengan al-isqot al-‘afw   yang mana dalam  tulisan ini tidak di jelaskan lebih lanjut,karena pengguguran seperti ini tidak menimbulkan akibat hukum.2.      Abortus Buatan (campur tangan manusia )Abortus buatan adalah pengguguran yang terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan. Disini canpur tangan manusia tampak jelas, abortus dalam bentuk kedua ini dapat dibedakan dalam dua macam yaitu abortus artificialis therapicus dan abortus provocatus criminalis.a . Abortus Artificialis Therapicus    abortus ini adalah pengguguran yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis. Dalam istilah lain dapat disebutkan sebagai tindakan mengeluarkan janin dari rahim sebelum masa kehamilan. Hal ini dilakukan sebagai penyalamatan tehadap jiwa ibu yang terancam bila kelangsungan kehamilan dipeartahankan, karena pemeriksaan medis men;unjukan gejala seperti itu. abortus tersebut disebut  al-isqat al-dharuri  atau al-ijhadh al-‘ilaji (istilah dalam fiqih) b. Abortus Provocatus Criminalisabortus ini adalah pengguran yang dilakukan tanpa indikasi medis. Misalnya, abortus yang dilakukan untuk meniadakan hasil hubungan  seks diluar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki. Dalam istilah fiqih disebut al-isqat al-ikhtiari atau al-ijhad al-ijtima’i.    

B.     Dari segi kedokteran1.      Abortus diinduksiPada aborsi jenis ini terjadi pendarahan yang banyak. Pada kenyataan ini istri harus dioperasiuntuk mengosonkan rahim dari kehamilan itu berbahaya baginya.2.      Abortus  kompletus Dalam keadaan ini janin dan plasenta serta tali pusat keluar semua. Namun pendarahan hanya sedikit saja3.      Abortus inkompletusPada abortus jenis ini sebagian kandungan keluar dan sebagian lagi tertunda dalam perut. Pendiagnosaan akan menjadi bagus bila menggunakan alat.4.      Abortus habitualis Pada jenis ini keguguran terjadi tiga kali atau berturut-turut. Penyebab umum dari keguguran ini ialah adanya kelaiana pada leher rahim, atau pembengkakan pada rahim atau cacat bawaan.5.      Abortus terinfeksiAbortus jenis ini tejadi karena adanya infeksi atau penularan penyakit dalam kandungan atau kehamilan. 6.      Abortus missedPada abortus jenis ini, janin mati dalam sirahim ibu. Penyebabnya sukar diketahui. Walau demikian hal ini masih bisa didiagnosa dengan alat7.      Abortus mundzarYaitu terjadinya kekeringan rahim pada masa-masa awal dari trjadinya abortus pada masa awal kehamilan. 
 2.PANDANGAN FIQIH
a.      Madzhab  Syafi’iUlamak madzhab ini berbeda pendapat mengenai pngguran kandungan sebelum ditiupkan ruh kedalam janin ibu. Sebgian mengatakan bahwa itu haram, senentara yang lain mengatakan boleh. Sebab mania tau sperma ketika keluar belum dapat dipastikan akan hidup.      Mereka juga berlainan pendapat mengenai nuthfah yang belum genap 40 hari. Sebagianmengatkan bahwa pengguran kandungan sebelum 40 hari tidak ternmasuk dalam aborsi maka boleh dilakukan. Sebagian lagi berpendapat bahwa nuthfah itu harus dihormati, tidak boleh dirusak. Dan tidak ada alasan untuk menggugurkannya setelah berada dalam rahim.      Dalam kitab ihya ulumudin aborsi sebelum ruh ditiupkan kedalam janin itu tidak diharamkan. Adapun ketika ruh sudah ditiupkan maka hal ini jelas haramnya. dikatakan tidak haram, kalau ada alasan yang kuat bagi aborsi sebelum ditiupkan ruh kedalam janin itu, jika tidak ada alasan yang kuat maka hukum lebih dekat pada haram, sebab  kalau ruh sudah ditiupkan maka perbuatan itu termasuk jarimah(kejahatan).   
b.      Madzhab  MalikiMengeluarkan mani (sperma) yang telah berbentuk dalam rahim itu tidak boleh walaupun belum genap 40 hari. Jika ruh telah ditiupkan kedalam janin itu, maka aborsi haram hukumnya berdasarkan consensus para ulamak.       Ada sebagian ulamak madzhab maliki yang berpendapat lain, aborsi itu makruh hukumnya sebelum 40 hari,  ini menunjukan bahwa yang dimaksud dengan kata tidak boleh pada pendapat pertama ialah hukum yang mengisyaratkan haram. Hal ini sesuai dengan pendapat mayoritas ulamak madzhab ini yang mengatkan bahwa pembolahan aborsi itu tidak ada dalam madzhab maliki sebelum 40 hari.
c.       Madzhab  HanafiMenurut Madzhab Hanafi, aborsi itu diperbolehkan sebelum ia berumur 4 bulan walaupun suami tidak mengizinkan  itupun kalau ada udzur,  Seperti terputusnya air susu setelah Nampaknya kehamilan sedangkan suami tidak mampu menyewa orang untuk menyusui anaknya itu. Termasuk alasan bolehnya aborsi jika istri merasa lemah dan kurus akibat kehamilan tadi, dengan alasan itu aborsi diperbolehkan karena khawatir bayinya akan mengalami kecelakaan atau bahaya.      Jika janin telah terbentuk (sudah ditiupkan ruhnya) sebagian ulamak madzhab hanafi ada yang berpendapat aborsi itu boleh, ada juga yang mengatakan makruh hukumnya walaupun janin belum terbentuk atau ruh belum ditiupkan dalam janin, Sebab air sperma yang telah jatuh atau masuk kedalam rahim, tempat bagi kehidupan, maka ia sama dengan yang hidup, dan tidak boleh digugurkan.

d.      Madzhab  HambaliMenurut madzhab hambali, pengguguran kandungan sebelum 40 hari itu boleh. misalnya dengan menggunakan obat yang dibolehkan. Sedangkan setelah itu tidak boleh.
e.       Madzhab DhahiriMenurut mereka  aborsi yang membawa dosa ialah setelah sempurna empat bulan.mereka mewajibkan kifarat  bagi aborsi yang dilakukan setelah empat bulan sedangkan  aborsi sebelum empat bulan maka tidak ada kifarah.[4]f.       Madhab Syiah ImamiyahMenurut mereka, kifarah tetap wajib bagi bayi yang sudah 40 hari atau tidak.[5]   Kesimpulan:      Dari sekian banyak pendapat para ulama berbagai madzhab dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai aborsi sebelum ditiupkannya ruh kedalam janin. Secara global pendapat-pendapat itu diringkas menjadi empat1.      Aborsi itu boleh secara mutlak walaupun tidak ada udzur atau alasan. Ini adalah pendapat ulamak madzhab Zaidiyah ( tidak kami sebutkan di atas).  Pendapat ini hampir sama dengan pendapat sebagian para ulama madzhab Hanafi, hanya saja madzhab Hanafi tadi mensyaratkan adanya udzur atau alasan dalam bolehnya aborsi tersebut. Pendapat ini juga dianut oleh sebagian ulama dari madzhab syafi’i2.      Aborsi itu boleh dengan syarat ada alasan yang tidak bertentangan dengan syara’. Jika tidak ada alasan, maka aborsi itu makruh hukumnya. Ini adalah pendapat sebagian ulama madzhab Hanafi dan Madzhab syafi’i.3.      Aborsi itu makruh secara mutlak baik ada sebab maupun tidak ada. Ini adalah pendapat sebagian  ulama Madzhab imam Malik4.      Aborsi itu haram. Ini pendapat yang masyhur pendapat imam Malik

DAFTAR PUSTAKA                               
Jaad,ali.1996.kedokteran dan masalah kewanitaan.jakarta:khazanah ilmu    
Yanggo, khuzimah.1996.problematika hukum islam kontemporer.jakarta:firdaus pustaka 

(oleh: Saif -Mahasiswa Ushuluddin/INKAFA smtr 8)moga rmanfaat..................
 

[1]YBP. SP., 1999, Ilmu kebidanan, hal.794[2] Problematika Hukum Islam Kontemporer, Saifullah, Hal.114[3] Kedokteran dan Masalah kewanitaan Dalam Islam,S yikh Ali Jaad Al-Haq, Hal.111[4] Al- Mahalli, oleh Ibnu Hazm, Juz 11, hal.35-30[5] Al- Raudlah Al- Bahiyah, juz 2,hal.144