Jumat, 05 Oktober 2012


Kunci Surga
Anak kunci surga itu adalah ikrar 'Tiada Tuhan selain Allah'. (HR. Al-Bazzar dan Ahmad bin Hambal dari Mu'adz bin Jabal). Kalimat laa ilaha illallahu (tiada Tuhan selain Allah) sering pula disebut kalimat thayyibah yang menjadi prinsip dasar ajaran Islam.

Menurut Prof. Dr. Nurcholis Madjid, kalimat thayyibah ini merupakan senjata paling ampuh untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kemanusiaan dari segala bentuk kepercayaan yang batil. Kalimat "Tiada Tuhan kecuali Allah" terdiri atas penolakan (negasi) dan penetapan (afirmasi).

Penafian di sini adalah ungkapan pertama syahadat, "tiada Tuhan" atau "tiada sesuatu bentuk Tuhan apapun", dengan penetapan yang sempurna, "kecuali Allah". Allah SWT menganalogikan kalimat thayyibah ini dengan sebuah pohon yang kuat lagi tinggi menjulang. Dalam QS. Ibrahim: 24-25, Allah SWT berfirman:

Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya.

Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Seorang Muslim yang memahami hakikat kalimat tersebut, kehidupannya akan selalu mencerminkan nilai-nilai ketauhidan bagaikan sebuah pohon yang baik. Cirinya:
Pertama, ketauhidan dan rasa mahabbah kepada Allah akan terhujam di dalam lubuk hatinya bagaikan pohon yang akarnya teguh menghujam ke bumi.

Ia akan senantiasa lentur diterpa angin, kokoh tidak tercerabut. Seseorang yang bertauhid akan mampu menghadang segala macam tipuan syaitan yang menjerumuskan. Ketauhidan yang telah menancap kokoh di hati akan menyebabkan seorang Muslim rela mengorbankan apa pun juga demi menjaga ketauhidan tersebut, meskipun nyawa harus menjadi taruhannya.

Kedua, ketauhidan yang telah tertancap kokoh di hati akan membawa seorang Muslim ke puncak prestasi. Ia akan menjadi mercusuar bagi yang lain seperti halnya sebuah pohon yang cabangnya menjulang ke langit. Pribadi-pribadi semacam ini dapat kita saksikan pada masa Rasulullah dan para sahabat.

Berbekal ketauhidan mereka dapat menggapai puncak prestasi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam politik, militer, ilmu pengetahuan, hingga lapangan kejiwaan dan spiritual. Dengan kalimat tersebut tidak ada lagi penghambaan, ketakutan, dan rintangan yang akan membelenggu karena semuanya dikembalikan kepada Allah sebagai pemilik segalanya.

Ketiga, ketauhidan yang benar akan berbuah ketaatan. Seseorang yang mengenal Allah tentu akan memahami tujuan hidupnya, sehingga ia akan menjalani hidup dengan penuh vitalitas, beribadah dengan penuh keikhlasan dan memahami makna dari semua yang ia lakukan. Karakteristik tersebut pada akhirnya akan membawa rahmat dan cinta kasih yang dapat dipetik bagai buah-buahan segar baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang di sekitarnya.

Seseorang yang bertauhid akan menjadi sosok bermanfaat bagi lingkungannya dan akhlaknya sedap dipandang mata, bagaikan sebuah pohon yang selalu ramah lingkungan, teduh dan menyedapkan pandangan. Maka pantaslah bila ia bisa menjadi kunci pembuka syurga, baik syurga dunia maupun syurga akhirat.

Oleh karena itu, seorang Muslim harus terus menyempurnakan nilai-nilai ketauhidan yang ada pada dirinya. Ia harus terus memupuk dan menyiram pohon ketauhidan tersebut. Ilmu dan mahabbah adalah pupuknya. Dan sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu tentang Allah dan mahabbah tertinggi adalah mencintai-Nya. 

Memang Kita Harus Bersabar

Sabar bukan berarti pasif, namun dinamis, karena di sisi lain kita pun diperintahkan untuk menegakan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Maka, harus ada ikhtiar untuk mengubah kemunkaran itu.

KRISIS multidimensi yang melanda bangsa ini bisa jadi membuat kita tidak berlaku sabar. Kita menjadi "tidak sabaran", mudah tersinggung, cepat marah, saling hujat, dan saling bermusuhan. Padahal, saat kita dilanda krisis sekarang ini, termasuk krisis kepemimpinan, kita sangat butuh pertolongan Allah SWT. Untuk mengundang pertolongan Allah itu salah satunya dengan bersikap sabar. (QS. Al-Baqarah: 45 dan QS. Al-Baqarah: 155-156).

Ayat itu juga menegaskan, sikap sabar berat dilakukan, kecuali bagi mereka yang sungguh-sungguh dalam mengamalkan perintah-Nya. Seorang ulama, Al-Junaid bin Muhammad, membuat sebuah perumpamaan tentang hakikat sabar, yakni "laksana meneguk sesuatu yang pahit tanpa perlu merengut".

Allah SWT juga menyatakan, kekuatan sabar bisa mengalahkan sesuatu. Sekarang, Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar (QS. Al-Anfaal: 66).

SALAH satu tantangan sekaligus peluang mengamalkan sikap sabar adalah kondisi bangsa yang carut-marut sekarang. Menghadapi pemilu 2004, kita diberi gambaran memprihatinkan dan mengecewakan, bahkan bisa menimbulkan keputusasaan dan pesimisme. Misalnya, bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan signifikan bagi bangsa ini karena pemilu hanya memapankan status quo, akan berkuasanya "politisi bermasalah", tidak berkualitas dan tidak jujurnya para calon anggota parlemen, maraknya politik uang, dan pemilu hanya menjadi ajang politisi partai untuk mencapai jabatan, lalu mementingkan diri sendiri dan kelompok, mengabaikan kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Lebih dari 14 abad silam, Rasulullah SAW mensinyalir kondisi demikian dalam sejumlah hadisnya. "Siapa yang melihat tindakan penguasanya yang tidak menyenangkan, hendaklah bersabar_" (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan, "Sesungguhnya kamu akan melihat pada masa setelahku pejabat yang sangat mementingkan diri sendiri, dan karena itu bersabarlah kamu sampai kamu menemuiku" (HR Bukhari).

Dari hadis-hadis tersebut, Rasul memberi arahan umum kepada umatnya, agar bersikap sabar dalam menghadapi atau menyikapi penguasa yang zhalim. Tentu saja, sabar bukan berarti diam atau pasif. Sabar adalah sikap dinamis yang menuntun adanya ikhtiar. Paling tidak, sikap sabar bisa menghalangi munculnya tindakan tidak terpuji.

Sabar adalah salah satu kekuatan jiwa untuk mengendalikan amal perbuatan ke arah tuntutan Allah SWT. Hakikat sabar ialah mengarahkan kekuatan yang mendorong kepada apa yang bermanfaat baginya dan mengarahkan kekuatan penolak dari apa yang merugikannya. Sabar adalah ketahanan jiwa dalam menghadapi musibah, melaksanakan perintah Allah, serta mengendalikan hawa nafsu untuk tidak berlaku maksiat.

Para sahabat dan ulama berusaha memaknai sabar dengan berbagai sudut pandangnya. Ali bin Abu Thalib berkata, "sabar ialah kendaraan yang tidak terperosok". Abu Utsman berkata, "sabar ialah orang yang membiasakan dirinya menerjang hal-hal yang tidak mengenakkan". Amr bin Utsman Al-Makki berkata, "sabar ialah tegar bersama Allah dan menghadapi ujian-Nya dengan lapang dada dan tenang". Al-Khawwash berkata, "sabar ialah tegar terhadap hukum-hukum Allah dan Sunnah". Ruwaim berkata, "sabar ialah meninggalkan keluh-kesah". Ulama lain berkata, "sabar ialah meminta pertolongan Allah".

SEKARANG, bagaimana bersikap sabar terhadap penguasa zhalim atau pejabat korup sebagaimana disinyalir Rasulullah dalam sejumlah hadisnya? Tentu, bukan dengan diam atau nrimo kenyataan tanpa ada upaya mengubah keadaan. Sabar bukan berarti pasif, namun dinamis, karena di sisi lain kita pun diperintahkan melakukan 'amar ma'ruf nahyi muknar. Maka, harus ada ikhtiar untuk mengubah kemunkaran itu.

Krisis multidimensi termasuk krisis kepemimpinan dan keteladanan adalah musibah, ujian, bahkan mungkin adzab bagi umat. Ia harus disikapi dengan sabar. Kesabaran itu antara lain meliputi: Pertama, sabar dalam ketulusan niat perjuangan, yakni semata-mata karena Allah dan demi tegaknya kebenaran Ilahi di muka bumi ini. Kritik konstruktif didasari niat menegakkan kebenaran, bukan ambisi merebut kekuasaan. Kedua, ketekunan dalam mengidentifikasi sumber masalah. Bisa jadi, krisis ini merupakan adzab Allah karena kita tidak mempedomani syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya dalam membentuk sistem pemilihan pemimpin, atau ketika kita melakukan pilihan. Bisa jadi kita sering melakukan pilihan emosional, tidak rasional, sehingga mengabaikan kriteria pemimpin sesuai syara'. Kita harus merujuk segala urusan kepada Allah karena semua hal di dunia ini menjadi hak-Nya. Itulah antara lain makna "inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" sebagaimana ditunjukkan orang-orang yang sabar (QS. 2:156).

Ketiga, sabar dalam merumuskan dan melaksanakan perjuangan mengubah kemunkaran. Kesabaran di sini akan memunculkan sikap penuh perhitungan, tidak mudah memvonis atau menghujat yang hanya akan menimbulkan masalah baru, meninjau ulang atau mengoreksi strategi perjuangan, dan membangun jaringan. Juga bersabar, dalam pengertian ketahanan jiwa, atas segala fitnah perjuangan, seperti ancaman kekerasan, suap dan sebagainya.

Keempat, sabar dalam mengekang ambisi pribadi dan fanatisme golongan. Ambisi pribadi bisa merusak kepentingan bersama dan memunculkan permusuhan. Demikian pula fanatisme golongan yang bisa menimbulkan konflik antar kelompok, bahkan merasa paling benar dan menyalahkan orang lain.

Kelima, sabar dalam melakukan seleksi kepemimpinan. Isu politisi busuk atau caleg hitam hendaknya tidak membuat kita pesimis, namun lebih serius dan giat dalam melakukan kaderisasi pemimpin sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Dalam jangka pendek, tentu saja, jangan pilih politisi busuk dan parpol busuk pada pemilu nanti!
Wallahu a'lam...

Insya Allah
Rasulullah SAW bersabda :
'Berkata Sulaiman bin Daud as : "Malam ini aku akan berkeliling mengunjungi 70 perempuan, tiap perempuan kelak akan melahirkan seorang anak yang kelak akan berperang di jalan Allah.''
Sulaiman ditegur oleh malaikat, ''Katakanlah Insya Allah.''
Sulaiman tanpa mengucapkan insya Allah mengunjungi 70 perempuan itu dan ternyata tidak seorang pun di antara wanita-wanita itu yang melahirkan anak, kecuali seorang wanita yang melahirkan seorang setengah manusia. Demi Allah yang nyawaku ada di Tangan-Nya, seandainya Sulaiman mengucapkan kata insya Allah niscaya ia tidak gagal dan akan tercapai hajatnya. (HR Bukhari dan Muslim).

Ada satu kata kunci dalam hadis ini, yaitu kata insya Allah yang bermakna jika Allah berkenan atau jika Allah mengizinkan. Masa depan sepenuhnya ada dalam kekuasaan Allah. Manusia tidak berkuasa menentukan apa yang akan terjadi pada masa tersebut. Karena alasan itu setiap kita dianjurkan untuk mengucapkan insya Allah ketika akan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan masa depan, termasuk dalam berjanji.
Janji termasuk hal gaib karena berdimensi waktu yang akan datang. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hal gaib hanya diketahui oleh Allah saja. Kita tidak tahu rencana Allah terhadap diri kita dan terhadap janji yang kita ucapkan. Jadi, ungkapan insya Allah dimaksudkan agar keinginan kita dengan kehendak Allah menyatu.

Ungkapan insya Allah mengandung azam atau kekuatan niat untuk melakukan suatu pekerjaan. Sebagai contoh, ''Insya Allah nanti malam saya akan datang.'' Kalimat di atas adalah janji yang harus ditepati oleh si pengucap. Disertakannya ungkapan insya Allah menunjuk adanya sikap tawakal kepada Allah sebagai bentuk kesadaran bahwa Allah-lah yang berhak menentukan terjadinya sesuatu. Kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi dikemudian hari, apakah baik atau buruk. Rasulullah SAW dalam hadis di atas menunjukkan kekhilafan Nabi Sulaiman yang terlalu percaya diri dalam bertindak tanpa lebih dulu menyandarkannya kepada Allah SWT dengan ucapan insya Allah.

Kita dianjurkan untuk menyertakan ungkapan insya Allah ketika mengucapkan sebuah janji. Allah SWT berfirman,
''Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu. Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi. Kecuali (dengan menyebut) insya Allah. Dan ingatlah kepada Tuhan-mu jika kamu lupa dan katakanlah mudah-mudahan Tuhan-ku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada itu.'' (QS Al-Kahfi: 23-24).
Ayat ini turun sebagai sebuah teguran kepada Rasulullah SAW ketika beliau berjanji (tanpa disertai ucapan insya Allah) kepada orang Quraisy yang menanyakan masalah ruh, kisah Ashabul Kahfi dan Dzulkarnain.

Sekarang, ungkapan insya Allah tengah mengalami pengkorupsian makna. Ia tidak lagi dijadikan sarana untuk menyempurnakan janji dan penyerahan diri kepada Allah. Ucapan insya Allah kerap dijadikan alasan untuk tidak menepati janji. Semua ini terjadi karena kurang pahamnya sebagian orang terhadap makna dan hakikat kata insya Allah.
Karena itu kita harus berusaha mengembalikan makna insya Allah kepada hakikat sebenarnya yaitu penyerahan diri kepada Allah dan menyempurnakan janji agar kita terhindar dari sifat munafik. Sebagaimana dikatakan Nabi Ismail kepada ayahandanya,
''Wahai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'' (QS. Ash-Shaffat: 102).
Wallahu a'lam bish-shawab